Oleh: Matroni el-Moezany*
Tentunya
kita semua tahu bahwa kalau berbicara kelebihan, pasti semua di dunia
ini memiliki kelebiha dan kekurangan, tapi di sini penulis tidak ingin
melihat kekurangan dalam setia sesuatu, agar kelebihan selalu berpihak
kepada kita.
Sastra
dalam hal ini adalah puisi merupakan ekspresi kreatif dari renungan
sastrawan terhadap kehidupan masyarakat, jadi yang menjadi terekspresi
bisa berupa hiburan, pencerahan, komentas atas situasi, rangkuman,
potret keadaan, karikatur, symbolisme, ekspresi tragedy atau tragis
dengan mini kata pertunjukan. Jadi dalam hal ini sastrawan melahirkan
ide-ide pencerahan dan pembaruan.
Kelebihan
puisi yang bersumber pada imajinasi terletak pada kemampuannya tidak
hanya menjadi model identifikasi, tapi juga bagaimana mendorong kita
membuat konstruksi mengenai “aku” lebih luas dari kerangka model-model
psikologi.
Puisi adalah sebuah pesta atau “perayaan” dari realitas. Filsafat adalah discovery,
yang lalu dipresentasikan dalam sistematisasi rasional. Puisi dan
filsafat memliki kesamaan dalam usaha mengekspresikan berbagai
“kebenaran” kehidupan kita, termasuk kejiwaan, hidup batin, gejolak
tulus dari rasa maupun nurani. Bedanya, kalau puisi menggunakan medium
bahasa konvensi padat dan gumpalan kata-kata serti berfungsi sebagai
“perayaan”, sedangkan filsafat lebih bagaimana memaparkan dan mengurai
kebenaran secara sistematis-rasional.
Sastrawan,
sebagai tuan atas hidup batin (rasa dan imaji), lalu mengekspresikan
lewat kata-kata. Kata-kata menjadi model dari kehidupan batin dan
pribadi kita sebagai orang selalu peka terhadap realitas. Puisi
merupakan bentuk rekaan atau imajinasi yang bisa membahasan kehidupan
batin atau masyarakat menjadi hidup privat.
Di
sisi yang lain sastrawan tampil, untuk mengekspresikan imajinasi
dirinya, renungannya mengenai kehidupan masyarakat, atau di pihak lain,
lebih jauh melangkah berktekad ingin menyodorkan, mencerahkan atau
“menjatuhkan kerikil di danau tenang yang lalu membuat pendar gelombang
di atas air danau itu, semakin banyak yang menjatuhkan kerikil, maka
semaki gelombang-gelombang itu menjadi banyak dan ketenangan danau
diguncang-bangun”.
Sepertinya
para sastrawan menjadi dokter yang bisa menyembuhkan orang sakit.
Menurut bidan Soctates dalam melahirkan kesadaran mengenai keindahan dan
kebenaran. Dalam bersikap sastrawan menghadapi komplikasi hak
kemerdekaan ekspresi, maka ketika terjadi konflik kepentingan antara
kebebasan sastrawan dan aturan, bahasa structural kepastian tentang
tanggungjawab terhadap peradaban masyarakat seringkali masung
kreativitasnya.
Dalam
hal ini, sastrawan harus memilik kesadaran untuk menjadi komentator
kehidupan social atau mengajak masyarakat untuk tidak hanya pada satu
gelombang nilai hedonis-materialistis dan kemabli pada dasar
religiusitas, solidaritas pada yang sengsara dan papa dari sesame dan
hormat pada mertabat sesama manusia. Namun, semua ini tidak akan bisa
terolah menjadi matang sebagai ucapan kejujuran nurani
sastrawan-sastrawan, jika proses kreativitas di batasi. Maka, jika di
batasi, sastra yang kreativ akan sama posisinya dengan kesenian pesanan
yang telah diatur dan direkayasa oleh pengaturnya.
Artinya
kita harus sadar akan kesadaran dunia ini bahwa kesadaran bernilainya
setiap manusia sebagai sesama manusia. Maka, wilayah kebebasan berkreasi
lalu menjadi wilayah yang subjektifitas manusia. Sosiolog Max Weber
memberi cara bagaimana memahami subjektifitas individu dalam realitas
social itu dengan metode verstehen, pemahaman subjektivitas seseorang lewat tindakan-tindakannya yang dicoba mengerti dampak sosialnya.
Dengan
melihat fenomena tersebut, kita melihat bahwa tempat-tempat “kebebasan
berekspresi” adalah wilayah “kesucian” hak asasi manusia. Sementara
pengaturan terhadapnya baru relevan kalau hasil kebebasan berkreasi itu
mulai masuk ke wilayah sosialitas manusia atau wilayah hidup bersama.
Maka kita membutuhkan penjernihan pembedaan ini harus dipertajam
batasnya. Kalau batas “wilayah subjek” dan “wilayah sosial” atau
“objektifitas” manusia, maka akan jelas pengaturannya. Singkatnya,
wilayah subjek masyarakat (sastrawan) adalah wilayah hak dan kebebasan
untuk berkreasi dalam hal ini seni, puisi dan filsafat. Sedang pada saat
kreasi itu dimasyarakatkan atau dipublikasikan ke masyarakat, maka kita
mulai memasuki wilayah sosialitas dan objektivitas tadi.
Dengan
membedakannya, kita bisa menarik benang merah bahwa kesadaran menjadi
sangat penting kita tanam sebagai alat untuk mengolah rasa. Artinya rasa
dalam hal ini menjadi penting juga, karena dengan adanya ruang rasa
sastrawan lebih sensitive terhadap diri dan sekitarnya sebagai inspirasi
kreatif. Dan sebagai renungan “sepertinya aku tak bisa mengurai detik
yang begitu rapat di apit gelombang”.
0 komentar:
Posting Komentar